Insya Allah "Sumedang Pasti Hurip"

Tampilkan postingan dengan label Ekonomi Kreatif. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ekonomi Kreatif. Tampilkan semua postingan

Sumedang Akan Kembangkan Ekonomi Kreatif

Konsep Ekonomi Kreatif  semakin mendapat perhatian utama di kabupaten/kota di Jawa Barat karena ternyata dapat memberikan kontribusi nyata terhadap perekonomian. Di wilayah priangan pun gaung Ekonomi Kreatif mulai dikembangkan, dengan diselenggarakannya Festival Seni dan Ekonomi Kreatif wilayah Priangan Timur.

Pengembangan ekonomi kreatif sejalan dengan upaya Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang mendorong berkembangnya usaha mikro kecil-menengah (UMKM). Produk kreatif  tersebut sebagai upaya membuka berbagai lapangan kerja dan pendapatan masyarakat. Dan diharapkan dapat saling memanfaatkan, antara perajin dengan perbankan, termasuk secara syariah yang kini mulai berkembang di Jawa Barat.

Pengembangan  produk kreatif saat ini dinilai paling potensial diusahakan oleh masyarakat, terutama produk inovasi makanan tradisional, kerajinan, dll. Karena itu Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sumedang, Drs. H Dedy Ramdan Ruhendi M Si.

Menurut Ramdhan, kegiatan ini juga merupakan salah satu kegiatan promosi, agar usaha kecil yang ada di Kabupaten Sumedang tetap tumbuh dan berkembang. Hanya saja, dia mengakui langkah kongkretnya, harus ada regulasi dan pengalokasian anggaran yang terkait dengan upaya pengembangan ekonomi tersebut.

“Yang paling utama  ide kreatif yang sangat menarik bagi sebuah bisnis,” tegasnya.

Randhan menilai, pengembangan  produk kreatif saat ini  paling potensial diusahakan oleh masyarakat, terutama produk inovasi makanan tradisional, kerajinan, dll.

Terkait kekhawatiran para pelaku usaha di Kabupaten  Sumedang tidak perlu khawatir mengalami penurunan omzet sebagai dampak dari dibangunnya Tol Cileunyi, Sumedang, Dawuan (Cisumdawu) yang kini tengah digarap. “Sumedang tak akan menjadi kota mati,” tegas Ramdan.

Ekonomi Kreatif Peluang dan Kebijakan

Pembahasan ekonomi kreatif merupakan topik hangat dan menarik untuk dikupas dari berbagai perspektif. Sektor ekonomi kreatif di tanah air memberikan kontribusi yang signifikan. Pengembangan Ekonomi Kreatif di Indonesia didukung oleh Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009. Industri ini terdiri dari: Periklanan (kreasi dan produksi iklan), Arsitektur (tata kota, pertamanan, dll), Pasar Barang Seni, Kerajinan, Desain (interior, eksterior, grafis), Fesyen (tata busana), Video, Film & Fotografi, Permainan Interaktif, Musik, Seni Pertunjukan, Penerbitan & Percetakan, Layanan Komputer & Piranti Lunak, Televisi & Radio, Riset & Pengembangan.

Industri kreatif menjadi jalan bagi lahirnya genre wirausahawan masa depan, pada saat semua industri sudah menjadi milik kaum pemodal besar. Industri kreatif berbasis pada kreativitas dan inovasi pengolahan sumber daya alam dan lingkungan sekitarnya melahirkan nilai tambah produk berdampak ganda terhadap perekonomian dan sosial secara positif.

Untuk mencapai hal tersebut, industri pendidikan berpeluang sebagai pendukung yang melahirkan genre wirausahawan masa depan ini. Wirausahawan muda di sektor industri kreatif saat ini telah terbukti berkontribusi pada beberapa sektor seperti Video, Film & Fotografi, Permainan Interaktif, Musik, Seni Pertunjukan. Karya film Garfield ternyata dilahirkan dari insan kreatif Indonesia.

Pendidikan berbasis pendukung ekonomi kreatif perlu diperkuat secara komprehensif tidak saja dari pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Pendidikan menengah melalui Sekolah Menengah Kejuruan, berkontribusi menghasilkan SDM penghasil produk industri kreatif. Seperti SMK Teknologi, SMK Kerajinan, dll.

Perguruan Tinggi perlu menjadi katup pelepas penghasil SDM pendukung ekonomi kreatif. Misalnya melalui pendidikan di bidang seni dan budaya, ekonomi, teknologi dan sistem informasi. Pendidikan tinggi selayaknya memiliki kemampuan meracik kurikulum yang mampu merespon perkembangan trend ekonomi kreatif yang ada.

Fenomena yang terjadi adalah perguruan tinggi menerapkan pendekatan konservatif dalam pengembangan keilmuannya. Ekonomi Kreatif seperti tidak memiliki rumah dalam pengembangannya. Sebagai ilustrasi, Program Studi yang secara khusus merancang kurikulum Ekonomi Kreatif sebagai salah satu program studi masih langka diberikan di negara Indonesia.

Alasan yang paling mendasar perihal tersebut diata adalah istilah ‘pendidikan ekonomi kreatif’ dilihat dari epistimologi atau dasar keilmuan masih menuai perdebatan. Pendidikan ekonomi kreatif sebaiknya diberikan kepada induknya yaitu pendidikan karakter. Yaitu pendidikan ekonomi kreatif sebagai derivasi pendidikan karakter menanamkan prilaku atau karaker positif (kreatif) kepada peserta didik, dilakukan pada pelbagai jenjang pendidikan (formal) dan masyarakat umum (non formal) untuk mewujudkan bangsa yang berkarakter (‘berakhlak‘) baik sebagai amanah Undang Undang Dasar dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Grand Disain Pendidikan Karakter, Kemdiknas 2011).

Sehubungan pemberitaan di media perihal ekonomi kreatif di Indonesia lebih cepat dibandingkan dengan kesiapan perguruan tinggi menghasilkan SDM pendukung sektor tersebut; perlu daya dukung industri melalui program link and match pencetak genre wirausaha masa depan ini.

Perguruan tinggi yang berbasis pada pendukung industri hulu, seperti fakultas teknik, seni dan budaya, perlu berkolaborasi dalam pengembangan kurikulum bersama Perguruan tinggi yang berbasis pada pendukung industri hilir, seperti manajemen dan bisnis, marketing, dan keuangan. Melalui pengembangan kurikulum bersama ini, minimal dapat terpecahkan secara komprehensif cipta karsa mahasiswa dari titik produksi barang (di laboratorium) sampai titik distribusi dan sampai di konsumen.

Inpres tentang ekonomi kreatif, memiliki dampak ganda, khususnya, pemerintah pusat mendorong pemerintah di tingkat provinsi sampai daerah melakukan pengembangan ekonomi kreatif. Program yang telah berjalan, misalnya adalah mengalokasikan anggaran untuk melakukan kajian potensi unggulan daerah berbasis ekonomi kreatif, pembuatan komite ekonomi kreatif, fasilitasi pembuatan forum atau komunitas ekonomi kreatif di tingkat kota/daerah, dan fasilitasi pengembangan industri kreatif.

Untuk lebih meningkatkan potensi dampak pengembangan ekonomi kreatif bagi masyarakat, pemeritah RI telah melakukan sosialisasi pemberian anugerah bidang pengembangan ekonomi kreatif atau Anugerah Baksyacaraka. Anugerah ini akan diberikan kepada kota/daerah yang telah berkontribusi memicu para pemangku kepentingan mulai dari pemerintah, pelaku usaha , para akademisi, dan seluruh komponen masyarakat di setiap kabupaten/kota dalam membangun dan mengembangkan budaya kreatif yang berdampak terhadap pengembangan ekonomi kreatif di wilayah masing-masing.

Kembali pada peningkatan kuantitas dan kualitas genre wirausahawan masa depan pendukung ekonomi kreatif, peningkatan peran pemerintah, bisnis dan pendidikan serta masyarakat menjadi sangat kritikal. Namun keempat komponen tersebut dapat berjalan dengan lancar bila didukung dengan kebijakan pemerintah setempat seperti dalam bentuk Peraturan Daerah, Keputusan Gubernur, Keputusan Walikota/Bupati.

Perangkat aturan tersebut untuk melindungi secara hukum pemberian daya dukung pemerintah kepada penerima manfaat. Misalnya, peraturan pendukung aspek infrastruktur (penguatan infrastruktur jalan bagi sentra produksi dan pemasaran produk kreatif di suatu wilayah/kota/daerah, penyediaan dan pembangunan taman kreatif terbuka bagi masyarakat pendukung ekonomi kreatif, penyediaan dana penggantian mesin baru pendukung produk ekonomi kreatif).

Peraturan pendukung aspek ekonomi (insentif dan disinsentif pengembangan produk ekonomi kreatif, fasilitasi kredit murah percepatan pertumbuhan sektor ekonomi kreatif, larangan ekspor bahan baku pendukung produk ekonomi kreatif, larangan impor produk pesaing ekonomi kreatif di Indonesia).

Peraturan pendukung aspek sosial (kebijakan yang mewajibkan setiap acara dibuka dengan penampilan seni dan budaya Indonesia, pengembangan komunitas kreatif sampai tingkat RT/RT, kebijkan yang mewajibkan pemberian cenderamata produk ekonomi kreatif, peningkatan pemberian penghargaan pada para insan dan instansi kreatif pendukung ekonomi kreatif).

Penulis Popy Rufaidah, Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan & Hubungan Alumni Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Padjadjaran, Anggota Komite Ekonomi Kreatif Jawa Barat

Pendidikan Ekonomi Kreatif, Solusi Untuk Pengangguran Akademik

Setiap orang pasti mempunyai impian untuk mengenyam pendidikan hingga ke jenjang yang setinggi-tingginya. Mulai dari SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Bahkan orang yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja selalu berharap agar salah seorang dari keluarganya dapat mengenyam bangku pendidikan sampai ke jenjang doctor bila memungkinkan. Tak asing lagi jika kita melihat banyak orang tua di desa-desa yang nekat menjual sawah mereka demi biaya sekolah sang anak. Apa gerangan yang membuat orang begitu obsesi untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya? Jawaban dari pertanyaan itu adalah demi sebuah pekerjaan yang layak dan meningkatkan taraf hidup.

Dari zaman dahulu paradigma masyarakat kita selalu berpikir bahwa dengan mengantongi ijazah pendidikan tinggi seseorang pasti akan mendapatkan pekerjaan yang layak. Bekerja di tempat yang enak, ruangan ber-AC, dan dengan honor yang tinggi tentunya. Namun pada kenyataannya, impian tidaklah selalu sama dengan kenyataan. Sakarang ini ijazah tak lagi menjamin pekerjaan seseorang. Jangankan ijazah SMA, bahkan orang yang berijazah perguruan tinggi pun tak selalu beruntung mendapatkan pekerjaan. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa angka pengangguran di Indonesia bagaikan bom waktu yang siap meledak pada saatnya. Berdasarkan data Badan Statistik Nasional (BSN), jumlah pengangguran di Indonesia hingga februari 2010 mencapai angka 8.59 juta jiwa atau sekitar 7.41 persen dari total penduduk Indonesia. Ironisnya, angka pengangguran itu tak hanya didominasi oleh orang- orang yang tak berpendidkan saja. Bahkan orang-orang yang lulus perguruan tinggi pun tak luput dari predikat “pengangguran”. Inilah yang kemudian disebut sebagai pengangguran akademik. Ditulis dalam kompas.com (28/10/10), bahwa angka pengangguran akademik lebih dari dua juta orang. Padahal, tanpa merekapun angka pengangguran di Indonesia kian melambung. Jika sudah begini, mau jadi apa negara kita ini.

Jika mereka yang berpendidikan tinggi saja tak mampu mendapatkan pekerjaan, apa kabar dengan mereka yang hanya lulusan SMA atau di bawahnya. Hal yang perlu dikhawatirkan adalah pandangan masyarakat terhadap dunia pendidikan di negeri kita ini. Tak menutup kemungkinan masyarakat awam akan memandang pendidikan sebelah mata jika kondisi ini terus dibiarkan begitu saja. Mereka tak mau lagi mengindahkan imbauan pemerintah tentang wajib belajar sembilan tahun. Para orang tua akan lebih memilih anaknya untuk membantu perekonomian keluarga ketimbang untuk sekolah yang dianggap hanya membuangbuang biaya, toh ujung-ujungnya jadi pengangguran juga.

Apa yang salah dengan dunia pendidikan kita. Sepertinya ini tak hanya menjadi pekerjaan rumah bagi para guru di sekolah atau di perguruan tinggi, namun juga menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Ada hal yang harus dibenahi dengan dunia pendidikan kita, entah itu sistim, kurikulum, maupun yang lainnya. Rupanya kondisi ini tak hanya menjadi kerisauan segelintir orang saja. Pemerintah pun mulai merasa gerah dengan angka pengangguran di negeri kita ini. Ini dibuktikan dengan digagasnya pendidikan ekonomi kreatif beberapa tahun silam.

Ekonomi kreatif pertama kali diperkenalkan oleh John Howkins, penulis buku“Creative Economy, How People Make Money from Ideas” . Menurutnya ekonomi baru telah muncul seputar industri kreatif yang dikendalikan oleh hukum kekayaan intelektual seperti paten, hak cipta, merek, royalti, dan desain. Menurut sumber lain ekonomi kreatif merupakan upaya penciptaan nilai tambah melalui pengembangan intelektual dan talenta baik pribadi maupun kelompok. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ekonomi kreatif adalah upaya pemenuhan kebutuhan hidup dengan mengoptimalkan potensi kreativitas sehingga meningkatkan nilai komersiil suatu produk. Oleh karena itu, kreativitas yang tinggi dan ide serta gagasan yang fresh dan orisinil. Ekonomi Kreatif merupakan era ekonomi baru yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan pada ide dan stock of knowledge dari SDM sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya. Alvin Toffler (1980) dalam teorinya melakukan pembagian gelombang peradaban ekonomi kedalam tiga gelombang.Gelombang pertama adalah gelombang ekonomi pertanian. Kedua, gelombang ekonomi industri, dan yang ketiga adalah gelombang ekonomi informasi. Kemudian diprediksikan gelombang keempat inilah merupakan gelombang ekonomi kreatif yang berorientasi pada ide dan gagasan kreatif. Dengan ekonomi kreatif, rakyat jadi mandiri; meminimalkan ketergantungan, mengikis mental buruh, menciptakan lapangan kerja baru, mengurangi pengangguran, menyemarakkan dunia pariwisata, menggaet devisa. Pada akhirnya, rakyat jadi makmur.

Munculnya ekonomi kreatif di Indonesia berawal pada tahun 2006. Pada saat itu, dalam sebuah kesemapatan presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono mengarahkan untuk mengembangkan ekonomi kreatif di Indonesia. Kemudian pemerintah melalui Kementerian perdagangan dan perindustrian bekerja sama dengan KADIN membentuk Indonesia Design Power untuk mengembangkan ekonomi kreatif.

Gagasan ekonomi kreatif harus dipandang dan ditempatkan sebagai gagasan yang unggul untuk masyarakat yang memiliki keunggulan. Karenanya pencanangan ekonomi kreatif juga harus mendapat dukungan khususnya dari masyarakat. Pengembangan ekonomi kreatif berasumsi bahwa masyarakat di mana ekonomi kreatif dikembangkan adalah masyarakat yang memiliki atau bersedia untuk tumbuh secara kreatif berdasarkan kriteria pengembangan industri atau ekonomi kreatif.

Persoalannya, kendala yang harus dihadapi adalah bagaimana menghadapi rakyat awam yang tidak proaktif, yang terbiasa menunggu perintah dan petunjukberperilaku kontraproduktif. Di sinilah dunia pendidikan memegang peran penting. Melalui pendidikan ekonomi kreatif, siswa dan mahasiswa disiapkan secara fisik dan mental untu menjadi manusia yang berjiwa enterpreunership. Sehingga ketika mereka lulus dan meninggalkan bangku pendidikan, mereka tak lagi kebingungan untuk mencari kerja karena mereka telah memiliki skill. Bahkan mereka berpeluang untuk membuka lowongan kerja bagi orang lain.

Di sekolah, ekonomi kreatif ini dapat diajarkan kepada siswa melalui berbagai macam kegiatan baik yang berhubungan dengan materi pembelajaran maupun tidak. Misalnya, pada mata pelajaran ilmu pengetahuan alam, para siswa tak hanya diajarkan materi saja. Tapi mereka juga harus bereksperimen. Beberapa materi yang dapat diimplementasikan langsung dalam kehidupan sehari-hari seperti sel elektrolisis (penyepuhan), pembangkit listrik tenaga air, angin, dan lainnya, larutan elektrolit (dapat menghasilkan arus listrik), wawasan sadar lingkungan (memanfaatkan barang bekas untuk digunakan kembali maupun dijadikan sebagai hiasan), dan masih banyak lagi materi yang sangat aplikatif dan kontekstual bagi para siswa. Pada mata pelajaran kerajinan dan kesenian misalnya, siswa dapat diajarkan bagiaman cara membuat bermacam-macam kerajinan dan kesenian tangan, cara memasak, membuat keu, dan yang lainnya. Pada mata pelajaran ekonomi, siswa dapat diajarkan bagaimana cara mendirikan dan mengelola koperasi dengan baik. Dan masih banyak hal-hal lain yang dapat diajarkan secara praktis kepada para siswa. Itu semua merupakan modal yang sanga besar bagi para siswa maupun mahasiswa untuk masa depan mereka. Mental mereka sedikit demi sedikit akan mulai terbangun untuk menjadi enterpreuner sejati.

Ditingkat perguruan tinggi tentunya akan lebih mudah mengajarkan ekonomi kreatif ini karena mereka bukan lagi siswa sekolah yang harus disuapi. Mahasiswa akan lebih aktif dan kreatif, tergantung bagaimana sistim dan para pendidik mengarahkan mereka.

Perlu diingat bahwa dalam pendidikan ekonomi kreatif ini, modal mental saja tak cukup. Yang paling penting adalah sikap inovatif, karena bagaimanapun juga, permintaan pasar selalu berkembang dan konsumen akan mudah tergiur dengan produk-produk baru yang ditawarkan.

Ekonomi kreatif tak hanya berkutat dalam satu bidang saja, namun ekonomi kreatif punyai 14 subsektor industri, yaitu periklanan (advertising), arsitektur, pasar seni dan barang antik, kerajinan, desain, fashion, video/ film/ animasi/ fotografi, game, musik, seni pertunjukan (showbiz), penerbitan/percetakan, software, televisi/ radio (broadcasting), dan riset & pengembangan (R&D).

Dari sekian banyak sektor ekonomi kreatif itu, di Indonesia sendiri ekonomi kreatif yang berkembang pesat adalah dalam bidang kerajinan yang berbasis warisan budaya. Ini dapat dilihat dari produk-produk yang dihasilkan oleh para putra bangsa di berbagai daerah, terutama daerah pariwisata. Tahap selanjutnya adalah bagaimana pemerintah mengelola kreativitas anak bangsa ini menjadi produk unggulan.

Dengan demikian, pendidikan ekonomi kreatif yang diberikan di sekolah maupun perguruan tinggi diharapkan mampu mengikis mental buruh ketika para siswa dan mahasiswa meninggalkan bangku kuliah. Mereka tak lagi harus berdesak-desakan di bursa kerja untuk melamar pekerjaan dengan peluang yang sangat kecil. Karena bagaiamanapun juga keterampilan sangat dibutuhkan, tak hanya ijazah. Selain itu, sangat diharapkan mereka dapat membuka lapangan pekerjaan di berbagai sektor sehingga dapat mengurangi angka pengangguran di negeri tercinta, terutama pengangguran akademik. Pendidikan ekonomi kreatif ini akan berjalan sesuai dengan harapan jika semua pihak yang terlibat benar-benar mencurahkan kemampuan dan konsisten terhadap apa yang menjadi kewajibannya. Pemerintah, pendidik, siswa/ mahasiswa, maupun para pengusaha sekalipun harus terlibat aktif dalam pengembangan ekonomi kreatif ini. Sehingga bangsa kita akan lebih maju dan terangkat martabatnya di mata dunia.

Pendidikan Berorientasi Ekonomi Kreatif

Ekonomi kreatif bukan terminologi baru. Ekonomi kreatif telah diadopsi menjadi sebuah program strategis di bawah Kementerian Perdagangan yang saat itu dipimpin Marie Elka Pangestu. Ini tercermin dalam Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009-2015. Basis program ini bersandar pada kinerja produktif sumber daya manusia kreatif.

Itu berarti, sumber daya manusia kreatif amat dibutuhkan dalam menghasilkan sasaran program ekonomi kreatif. Untuk itu bukan hanya perlu dicetak sumber daya manusia kreatif secara kuantitatif, tetapi juga sumber daya manusia kreatif secara kualitatif.

Manusia kreatif harus mampu menggali ide kreatifnya serta mengembangkan ide tersebut secara inovatif. Di bidang ekonomi, ide kreatif dan inovatif itu harus mampu diejawantahkan dalam karya atau produk yang sesuai kebutuhan dan selera pasar ekonomi.

Era globalisasi membuka akses luas bagi karya atau produk semacam itu untuk menembus pasar dunia. Namun, produk tersebut tentu harus memenuhi standar kualitas yang dituntut pasar global dalam kondisi kompetisi pasar yang makin tajam ini.

Tugas lembaga pendidikan formal maupun nonformal menjadi strategis dalam proses pencetakan mutu manusia kreatif dan inovatif tersebut. Jenjangnya tidak hanya terkonsentrasi di tingkat sekolah menengah kejuruan dan balai pelatihan kerja. Ini juga menjadi tanggung jawab akademi yang menekankan penguatan proses pengajaran keterampilan anak didik.

Selama ini, sekolah kejuruan dan balai pelatihan kerja umumnya telah menunjukkan kualifikasi khusus sebagai lembaga pendidikan yang berorientasi pasar kerja. Kreativitas dan inovasi menjadi titik tekan utama dalam proses pembelajaran di lingkungan lembaga pendidikan ini. Jumlah sumber daya manusia kreatif dan inovatif tidak sedikit yang lahir dari lembaga pendidikan semacam ini.

Namun, apakah lulusannya telah mampu menjawab sepenuhnya tuntutan program ekonomi kreatif, apalagi tuntutan global? Kementerian Perdagangan memasukkan minimal 14 subsektor ekonomi kreatif, yaitu periklanan; arsitektur; pasar barang seni; kerajinan (handicraft); desain; fashion; film, video, dan fotografi; permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan piranti lunak; radio dan televisi; riset dan pengembangan. Keempatbelas subsektor program ekonomi kreatif tersebut tampaknya telah diwadahi dalam beragam lembaga pendidikan kejuruan.

Namun, jumlah lembaga pendidikan kejuruan yang dianggap dapat menunjang upaya melahirkan sumber daya manusia kreatif di masing-masing subsektor tersebut masih terbatas. Ini terutama amat dirasakan di sebagian besar daerah di Indonesia. Jumlah sekolah menengah kejuruan belum sebanyak sekolah menengah umum. Jumlah balai pelatihan kerja pun juga masih belum sebanyak diharapkan pasar kerja.

Pemerintah sebaiknya makin serius menjadikan beroperasinya sekolah menengah umum dan kejuruan secara proporsional. Penerbitan izin operasi sekolah menengah kejuruan seyogianya diperbanyak. Begitu pula dengan penerbitan izin operasi balai pelatihan kerja sebagai cermin keseriusan pemerintah melahirkan makin banyak lembaga pendidikan kejuruan. Upaya ini sejalan dengan spirit memperbanyak jumlah lembaga pendidikan berorientasi ekonomi kreatif.

Langkah itu saja tidak cukup. Izin lembaga pendidikan kejuruan tersebut sebaiknya tidak diobral di lingkungan perkotaan. Pemerintah sebaiknya mendorong lahirnya kian banyak sekolah kejuruan di wilayah kabupaten. Ini terutama dilakukan di wilayah kabupaten yang tinggi potensi daya serap tenaga terampil.

Tenaga terampil dimaksud tentu sama maknanya dengan sumber daya manusia kreatif dan inovatif tadi. Mereka tidak hanya mampu menggali dan membidani ide kreatif. Tetapi, ide tersebut berhasil pula dituangkan menjadi karya kreatif dan inovatif. Karya semacam itu memiliki potensi besar untuk menembus pasar konsumen global.

Pengembangan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif

Pada tingkat global atau dunia, kesadaran akan pentingnya pengembangan ekonomi kreatif sudah lama ada. Tetapi kesadaran itu menguat ketika pada tahun 2008 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan laporan berjudul ”Creative Economy Report 2008”.

Di Indonesia, seperti diketahui, pemerintah sebenarnya sudah menyadari pentingnya pengembangan ekonomi kreatif. Hal itu tampak ketika pemerintah menetapkan Tahun 2009 lalu sebagai Tahun Ekonomi Kreatif dan mengeluarkan Instruksi Presiden Nomer 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif. Pengembangan ekonomi kreatif sebelum diubahnya Kementerian Pariwisata menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif berada secara implisit di bawah Kementerian Perdagangan. Kementrian Perdagangan menindaklanjuti Inpres Nomer 6 Tahun 2009 tersebut dengan Rencana Pembangunan Ekonomi Kreatif Tahun 2009- 2025.

Berdasarkan Inpres Nomer 6 Tahun 2009 tersebut yang dimaksud ekonomi kreatif adalah ekonomi baru yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan stock of knowledge dari sumberdaya manusianya sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya. Jadi ekonomi kreatif mengandalkan kreativitas dan pengetahuan serta informasi yang dimiliki oleh sumberdaya manusia sebagai aktor utamanya. Ekonomi kreatif, dengan demikian, mempunyai lingkup yang sangat luas dan punya keunggulan yaitu tidak akan kehabisan bahan baku seperti hal kegiatan ekonomi lain seperti industri. Terbukti pula kegiatan ekonomi kreatif tahan terhadap hujaman krisis ekonomi.

Sedangkan yang termasuk dalam kegiatan ekonomi kreatif berdasarkan Inpres Nomer 6 tahun 2009 ada 14 kegiatan yaitu : periklanan; arsitektur; pasar barang seni; kerajinan; desain; Fashion, video, film, dan fotografi; permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan piranti lunak; televisi dan radio; serta riset dan pengembangan.

Berdasarkan data dari Kementrian Perdagangan sumbangan kegiatan ekonomi kreatif pada tahun 2007 saja sudah sekitar 6,3 persen terhadap Pdoduk Domestik Bruto, 10,58 persen terhadap total ekspor Indonesia, dan sekitar 5,79 persen terhadap penyerapan tenaga kerja. Jadi sebenarnya sumbangan kegiatan ekonomi kreatif ini terhadap perekonomian Indonesia meskipun belum besar tetapi ada dan masih potensial untuk dikembangkan.

Skenario Pengembangan Ekonomi Kreatif

Namun dalam upaya pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia di bawah kementerian yang baru yaitu Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ada 2 (dua) skenario. Pertama, memandang dikaitkannya atau diletakkannya pengembangan ekonomi kreatif di bawah Kementerian Pariwisata sebagai masalah.

Berdasarkan definisi dan kegiatan-kegiatan ekonomi kreatif yang tercantum dalam Inpres Nomer 6 Tahun 2009 maka kegiatan yang termasuk dalam ekonomi kreatif sangatlah luas. Kegiatan-kegiatan tersebut sebenarnya bisa masuk ke dalam semua Kementerian. Jadi tidak hanya di Kementerian Pariwisata saja. Dengan dimasukkannya pengembangan kegiatan ekonomi kreatif di Kementerian Pariwisata maka yang dikembangkan adalah kegiatan ekonomi kreatif yang terkait dengan sektor atau kegiatan pariwisata saja. Hal demikian telah mempersempit lingkup pengembangan ekonomi kreatif.

Ada dua alternatif untuk memecahkan masalah ini. Pertama, menghapus saja pengembangan ekonomi kreatif dari Kementerian Pariwisata. Implikasinya pengembangan kegiatan ekonomi kreatif harus ada di banyak kementerian yang terkait. Hal negatif yang bisa terjadi mungkin adalah duplikasi pada objek yang menjadi sasaran pengembangan ekonomi kreatif. Hal ini pernah terjadi pada pengembangan Usaha Kecil dan Menegah (UKM) di mana hampir semua kementerian dan lembaga, sebelum dibentuknya Kementerian Koperasi dan UKM, punya program pengembangan UKM. Akhirnya yang menerima bantuan khususnya dana dari berbagai kementerian dan lembaga adalah UKM yang sama. Sementara ada UKM yang sama sekali tidak menerima bantuan.

Alternatif kedua adalah melepas pengembangan ekonomi kreatif dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan membentuk kementerian sendiri yaitu Kementerian Pengembangan Ekonomi Kreatif. Dengan kementerian sendiri maka tanggungjawab dan alokasi dana juga akan lebih jelas. Bisa juga Kementerian Pengembangan Ekonomi Kreatif bertindak semacam Kementrian Koordinator yang membawahi beberapa Kementerian yang terkait dengan pengembangan kegiatan ekonomi kreatif.

Skenario kedua, memandang bahwa mengaitkan pengembangan ekonomi kreatif dengan kegiatan pariwisata bukanlah masalah. Implikasinya pengembangan kegiatan ekonomi kreatif tetap di bawah Kementrian Pariwisata dan dikaitkan dengan kegiatan pariwisata. Ada hubungan timbal balik antara kegiatan pariwisata dengan kegiatan ekonomi kreatif. Kegiatan pariwisata bisa merangsang dan memajukan kegiatan ekonomi kreatif dan sebaliknya bisa juga kegiatan ekonomi kreatif memajukan kegiatan pariwisata.

Jika melihat skenario pemerintah maka tampaknya pemerintah lebih memilih pengembangan pariwisata yang akan mengembangkan kegiatan ekonomi kreatif. Misalnya dengan pariwisata yang berkembang maka kegiatan ekonomi kreatif seperti kerajinan rakyat, pasar barang seni, dan seni pertnjukkan juga akan berkembang. Dengan skenario ini timbul masalah yaitu pengembangan kegiatan pariwisata sendiri ternyata belum optimal. Hal itu terlihat dari data yang dipublikasikan oleh Forum ekonomi Dunia (World Economic Forum) tahun 2011 berjudul ”Travel and Tourism Competetiveness Report 2011”, kegiatan pariwisata Indonesia menduduki posisi ke 74 dari 139 negara yang disurvei. Memang tahun sebelumnya (2010) posisi pariwisata Indonesia ada di posisi ke-81 yang berarti ada kenaikan 7 tingkat. Tetapi kalau dibandingkan dengan negara tetangga kita tertinggal jauh. Malaysia, misalnya berada di posisi ke 35.

Mengapa pariwisata di Indonesia belum berkembang secara optimal? Jawabannya sebenarnya adalah klasik dan sama dengan pengembangan kegiatan ekonomi riil yang lain yaitu karena buruknya infrastruktur, sistem logistik yang buruk, birokrasi yang tidak efisien dan korupsi yang belum bisa diberantas secara tuntas oleh pemerintah.

Loan Usaha Mikro dan Ekonomi Kreatif

Negara ini sebenarnya sudah memiliki banyak pengalaman dan kisah sukses dalam mengembangkan pembiayaan mikro atau puluhan istilah mirip lainnya. Dan, hal ini telah diakui dunia internasional pada periode sama ketika  Muhamad Yunus baru mulai membangun visinya mengentaskan kemiskinan lewat pembiayaan atau perbankan mikro (banking for poor).

Kisah sukses di Indonesia oleh World Bank disebut  sebagai revolusi microfinance  (Marquerette S. Robinson, 2002). Guru besar antropologi ini menggunakan  perjalanan dan kisah sukses Bank Dagang Bali dan BRI setelah berhasil mentransformasi kredit unit desa (KUD) sebagai ujung tombak penyalur kredit ke calon debitur (usaha mikro). Dominasi ini tidak berubah hingga kini. Dari dana Rp111 triliun untuk 7,5 juta nasabah usaha mikro, mayoritas berasal dari BRI (51,6%), disusul BNI (9,6%), Mandiri (8,8%), dan BPD (8,2%).

Undisbursed Loan Usaha Mikro

Semakin ramainya perbankan mengemas dan menjual kredit ke pengusaha mikro merupakan kondisi positif. Tapi, kita juga perlu memperhatikan “ketidakmampuan usaha mikro” dalam menyerap kredit yang sudah disetujui. “Kelonggaran tarik kredit” istilah Bank Indonesia untuk “undisbursed loan” usaha mikro sejak 2010 cenderung meningkat dari Rp72 triliun naik jadi  Rp77 triliun sampai akhir Agustus 2012. Sehingga, rasionya juga naik dari 3,2% menjadi 3,6% selama periode yang sama. Di sisi lain, total kredit (netto) juga menurun dari Rp194 triliun pada tahun 2010 menjadi Rp121 triliun per Agustus 2012, setelah tahun 2011 sempat melonjak jadi Rp300 triliun.

Tren menunjukkan rasio NPL (non-performing loan) milik bank asing dan bank campuran untuk membiayai usaha mikro ini lebih kecil dibanding bank negara dan swasta, yang  implisit menunjukkan mereka lebih baik dalam mengelola nasabah mikro. Dan, NPL tertinggi ada di sektor perikanan dan perdagangan.

Mengutip hasil survei rumah tangga Bank Indonesia tahun 2011, disebutkan bahwa sekitar 120 juta atau 50,6% dari 237 juta penduduk Indonesia belum tersentuh jasa perbankan (unbankable). Lebih rinci, diketahui 62% rumah tangga nasional yang mencakup 32 juta jiwa belum tersentuh layanan perbankan, tidak punya tabungan. Disamping itu, masih terdapat 60 juta UKM yang belum tersentuh jasa perbankan.

Potret pasar perkreditan dengan undisbursed loan berkisar 3,6% menunjukkan masih ada kendala lain (selain masalah pendanaan) dari usaha mikro nasional, yakni mereka mengalami kendala dalam menyalurkan dan mengembangkan usaha. Hal ini terkait dengan masalah perkembangan prospek ekonomi, kelaikan industri atau manajemen produksi, bahan baku sampai masalah pemasaran. Sehingga, tahap selanjutnya bukan lagi terfokus pada pembiayaan saja, tapi ada di luar aspek pembiayaan.

Pada sisi inilah, perlu dorongan dan bantuan lebih terpadu dari pemerintah, meskipun itu sebuah  affirmative action. Menerapkan bunga dan aturan terkait dan perlakuan khusus kepada nasabah usaha mikro merupakan jawaban untuk membantu pertumbuhannya.

Dukungan ke Sektor Usaha Kreatif

Terkait potensi dan tren ekonomi kreatif, maka pembiayaan mikro ke sektor usaha kreatif menjadi alternatif  usaha baru. Ekonomi kreatif yang berlandaskan seni dan kreativitas yang diberi sentuhan bisnis. Untuk ini, kita bisa banyak belajar dari Jepang dan Korea Selatan yang mulai membangun landasan konsep ekonomi kreatif tiga dasawarsa lampau.

Kini mereka baru menikmati hasilnya. Bahkan, produk dan jasanya sudah berhasil diekspor secara mengglobal dan masuk pula ke Jakarta. Sebagai contoh kecil, lihat saja mewabahnya tarian “Gangnam Style”  dan puluhan komik “teen lit” Jepang sampai  serial manga “One Piece” yang terjual jutaan eksemplar.

Kita sesungguhnya memiliki warisan seni budaya yang tak terhitung jumlahnya. Ibarat harta karun terpendam yang  tinggal diasah. Hal ini tentu menjadi modal dasar yang sangat baik untuk mengembangkan sektor usaha kreatif nasional dengan disokong pembiayaan mikro. Oleh sebab itu, aneka warisan budaya tersebut selayaknya harus segera dipatenkan, sebelum kita lebih banyak ribut dengan negeri jiran mengenai hak cipta warisan seni budaya kita karena ekonomi kreatif terkait juga ke industri hak cipta dan budaya.

Era Ekonomi Kreatif

Dunia kini tengah memasuki era industri gelombang keempat, yaitu industri ekonomi kreatif (creative economic industry),  usaha industri ekonomi kreatif diprediksi akan menjadi industri masa depan sebagai  fourth wave industry (industri gelombang keempat),  yang menekankan pada gagasan dan ide kreatif, hal ini bukan tanpa alasan, mengingat industri ekonomi kreatif telah mampu mengikat pasar dunia dengan jutaan kreativitas dan persepsi yang dapat dijual secara global. Walt Disney di Amerika Serikat, contohnya, mereka hanya menjual lisensi, brand, dan ide kreatifnya. Pabriknya tidak perlu di AS, tetapi bisa di Cina, India dan lokasi lainnya.

Ekonomi Kreatif merupakan sebuah konsep ekonomi di era ekonomi baru yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan stock of knowledge dari Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya.

Howkins (2001) dalam bukunya The Creative Economy menemukan kehadiran gelombang ekonomi kreatif setelah menyadari pertama kali pada tahun 1996,  ekspor karya hak cipta Amerika Serikat mempunyai nilai penjualan sebesar 60,18 miliar dollar AS jauh melampaui ekspor sektor lainnya seperti otomotif, pertanian, dan pesawat.

Fenomena Gangnam Style  yang mewabah  menjadi sekedar contoh bagaimana kreatifitas dapat menjadi mesin ekonomi baru bagi Korea Selatan.  Maka menjadi tidak berlebihan bila Howkins menyebutkan ekonomi baru telah muncul seputar industri kreatif,  yang dikendalikan oleh hukum kekayaan intelektual seperti paten, hak cipta, merek, royalti dan desain.

Ekonomi kreatif menunjang  pengembangan wilayah ekonomi baru

Tempat-tempat dan kota-kota yang mampu menciptakan produk-produk baru inovatif dan tercepat akan menjadi pemenang di era ekonomi kreatif.  Ramalan Richard Florida (2004) ini kian hari terlihat semakin nyata, termasuk di Indonesia. Kita dapat melihat bagaimana perkembangan kota Solo dengan Wisata Kuliner, Pasar Seni/Barang Antik dan pertunjukan Seni berbasis Budaya, Kota Bandung dengan distro atau factory outletnya, Kota Jember dengan Jember Fashion Festivalnya    atau  bagaimana Kota Bangkok mengemas potensi wisata Chao Praya River yang sesungguhnya “biasa-biasa saja” menjadi “luar biasa”, dimana  pada setiap pemberhentian jalur sungai, dengan sentuhan kreatifitas dan inovasi,  menjelma menjadi destinasi wisata  yang berperan sentral dalam menggerakkan ekonomi masyarakat lokal,   dengan  beragam produk kerajinan, pertunjukan seni dan event lainnya. 

Mengingat  peran ekonomi kreatif yang semakin meningkat bagi perekonomian suatu wilayah, utamanya terhadap pengembangan ekonomi berbasis UMKM, maka tidaklah berlebihan bila  semakin banyak kota yang menjadikan ekonomi kreatif sebagai ujung tombak  dan katalisator pengembangan ekonomi daerahnya,   Untuk menjadi pemenang di tengah persaingan yang semakin ketat, menurut Florida (The Rise of Creative Class), kota-kota, daerah, dan provinsi harus lebih menumbuhkan "iklim orang-orang." Yang dimotori  oleh kaum muda, dengan  semangat inovasi dan kreatifitas, mampu berperan layaknya   Midas Touch,   memoles sesuatu yang “biasa”  menjadi “luar biasa”.

Komitmen Pemerintah RI dalam mendukung Pengembangan Ekonomi Kreatif

Keseriusan  Pemerintah  Indonesia  dalam mengembangkan  ekonomi kreatif ditandai dengan keluarnya Inpres No. 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif yang berisi instruksi Presiden kepada Menteri, Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen, seluruh Gubernur, Bupati/Walikota yang intinya agar mendukung kebijakan pengembangan Ekonomi Kreatif tahun 2009-2015, utamanya dalam pengembangan kegiatan ekonomi yang mendasarkan pada kreatifitas, ketrampilan daya kreasi dan daya cipta dengan menyusun  serta  melaksanakan rencana aksi mendukung suksesnya pengembangan ekonomi kreatif tersebut. Disamping itu, berdasarkan Perpres N0.92/2011 pada tanggal 21 Desember 2011,  telah dibentuk Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif  dengan visi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat Indonesia dengan menggerakkan kepariwisataan dan ekonomi kreatif.

Presiden RI  di sela-sela kunjungan kenegaraan ke Inggris 31 Oktober 2012,  juga telah mengadakan pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Inggris,  dan salah satu hasilnya adalah ditandatanganinya nota kesepahaman  antar kedua negara, mengenai kerjasama ekonomi kreatif, yang akan difokuskan pada kerjasama pelaku kreatif antar kedua negara  dan pengembangan sumber daya manusia,  melalui pertukaran  informasi dan pengetahuan, peningkatan kapasitas (capacity building), pelatihan, penelitian dan showcase, implementasi nota kesepahaman akan dijalankan oleh (Kemenparektaf) dan The British Council.

Terakhir,  dalam acara Hipmi Economic Outlook 12/12/2012 di Denpasar Bali,  kembali Presiden RI  mengingatkan betapa  pentingnya pengembangan ekonomi kreatif, sebagai sektor ekonomi baru yang tumbuh signifikan mengingat  potensi dan kelebihan yang kita miliki lebih unggul dibandingkan dengan negara lain.

Pemilihan strategi kebijakan mengembangkan ekonomi kreatif di tengah pelambatan pertumbuhan ekonomi global, ini bukan tanpa alasan, kontribusi sektor ekonomi kreatif terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, di mana pada 2010 mencapai Rp 472,8 triliun dan mampu menyerap 11,49 tenaga kerja dan pada 2011 naik menjadi Rp 526 triliun dengan serapan 11,51 juta tenaga kerja. Tahun ini angka itu ditargetkan terdongkrak menjadi Rp 573,4 triliun dengan serapan 11,57 juta tenaga kerja.

Pengembangan ekonomi kreatif  akan sangat berperan dalam mengembangkan job creation,  mengingat besarnya potensi ekonomi kreatif yang dimiliki Indonesia, dengan lebih dari 300 suku bangsa. Dari sisi demografi penduduk usia muda yang mencapai 43% menjadi modal plus yang kita miliki, karena kreatifitas sangat dekat dengan kaum muda. Pengembangan ekonomi kreatif juga akan  berdampak langsung  bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah,  mengingat sektor ekonomi kreatif,  sebagian besar digerakkan oleh pelaku UMKM  dan  sangat potensial  menjadi kekuatan dashyat untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju, oleh karena itu menjadi jelaslah bahwa  ekonomi kreatif  perlu dijadikan sebagai salah satu sektor yang harus didorong perkembangannya.

Mengatasi tantangan  menerjemahkan komitmen

Besarnya potensi pengembangan ekonomi kreatif yang dimiliki Indonesia,  dengan karunia Tuhan akan kekayaan  dan keragaman budaya, keindahan geografis wilayah serta  sumber daya manusia kaum muda yang indentik dengan  dunia kreatif, perlu ditransformasikan menjadikan kekuatan  ekonomi baru,   bagi peningkatan  daya saing dan nilai tambah ekonomi sehingga  dapat berkonstribusi bagi peningkatan kesejahteraan rakyat sebagaimana cita-cita didirikannya suatu negara.

Oleh karena itu,  diperlukan adanya sinergitas dari semua pemangku kepentingan, dalam mengatasi berbagai tantangan yang  berpotensi menjadi bottleneck  pengembangan ekonomi kreatif, utamanya dalam  membangun akselerasi sinergitas  meningkatkan  kuantitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM) kreatif,  karena mayoritas SDM yang menyokong ekonomi kreatif Indonesia sebagian besar belajar secara otodidak, disamping itu perlindungan HAKI yang  kita miliki juga masih jauh dari harapan. Infrastruktur teknologi informasi belum kompetitif dan dukungan pembiayaan dari perbankan yang belum optimal, disamping penetrasi pasar yang lemah karena adapsi teknologi informasi melalui online marketing belum membudaya.

Bercermin dari beberapa bottleneck  sebagaimana yang diidentifikasikan di atas, seyogyanya K/L pusat dan daerah sebagai perumus kebijakan ekonomi kreatif diharapkan dapat memfasilitasi, memotivasi dan menginspirasi pengembangan ekonomi kreatif dalam bentuk rencana aksi yang kongkrit dan terukur, dengan menjadikan ekonomi kreatif sebagai bisnis masa depan yang menjanjikan, memfasilitasi promosi dan mengintensifkan bantuan modal usaha, kalangan bisnis diharapkan dapat mengoptimalkan self development, mengembangkan kapasitas usaha melalui sistem lokomotif – gerbong, dari pengusaha besar ke pengusaha kecil, dan tak kalah pentingnya adalah dukungan cendikiawan melalui pengembangan penetrasi pasar dengan pemanfaatan online marketing, disamping berbagai terobosan lain, berpikir out of the box,  menciptakan linkage atau konektivitas ekonomi kreatif dengan pariwisata, sebagai venue untuk proses produksi, distribusi sekaligus pemasarannya.

Dalam persaingan global  yang  kita hadapi dewasa ini,  dengan penetrasi produk ekonomi kreatif  yang tanpa batas, menyadarkan kita pula akan pentingnya menerapkan prinsip-prinsip marketing. Produk tidak semata-mata benda mati yang diperjual belikan, namun lebih kepada strategi kita dalam mengemas produk, diferensiasi produk, targeting  dan strategi dalam  memasarkan produk,  diperlukan penerapan  marketing intelejen,  agar kira mengetahui kekuatan  pesaing-pesaing  kita dan selera pasar,  karena di era globalisasi, perang   sejatinya adalah perang di medan ekonomi,   mengutip  nasihat Sun Tzu  “Kenali dirimu kenali lawanmu,  seribu pertempuran akan kau menangkan”.  Selamat Datang Era Ekonomi Kreatif semoga membawa kejayaan bagi Bangsa Indonesia.

Penayangan bulan lalu

Recent Posts